Custom Search

Kamis, 18 September 2008

Sidat (Anguilla sp) Komoditas Ekspor dari Sulawesi


Perairan Sulawesi merupakan daerah potensial distribusi sidat tropis, dan di Muara Sungai Poso minimal ditemukan lima spesies ikan sidat, yaitu A. marmorata, A. bicolor pasific, A. celebensis, A. borneensis, dan A. interioris (Sugeha, 2005). Perairan Teluk Tomini, yang berada di muka Muara Poso, berdasarkan tingkat kelimpahan larvanya (Leptocephale), memiliki kelimpahan tertinggi dibanding perairan lainnya (Wouthuyzen, et al., 2003). Tingginya potensi larva sidat yang bermigrasi ditunjukkan dengan tingkat rekrutmen yang mencapai 260-1069 ekor/lima detik di muara Sungai Poso (Haryuni et al., 2002) Berdasarkan data tersebut estimasi rekruitmen elver yang memasuki Sungai Poso dapat mencapai 187.200 – 769.920 ekor per malam.

Perairan Danau dan Sungai Poso telah lama diketahui merupakan daerah penangkapan sidat. Estimasi produksi sidat pada tahun 1970-an minimal mencapai 22 ton per tahun, yang didasarkan pada jumlah alat tangkap terpasang di Sungai Poso yang mencapai 20 – 25 unit dan hasil tangkapan per alat per malam (Sarnita, 1973). Sidat-sidat yang tertangkap adalah sidat yang beruaya ke laut, hal ini karena alat tangkap yang digunakan yaitu berupa perangkap ‘Waya Masappi” yang diarahkan ke hulu sungai (Sutardjo & Machfudz, 1974). Sedangkan berdasarkan data tahun 1990 – 1995, produksi rata-rata sidat di perairan ini, pada puncak musim penangkapan yaitu antara Januari – Juni (musim hujan) berkisar antara 1,75 – 9,83 ton/bulan, atau rata-rata 5,50 ton/bulan. Produksi sidat pada tahun 1990 mencapai 41,5 ton sementara pada tahun 1998 sekitar 30,5 ton
Produksi sidat saat ini masih mengandalkan hasil tangkapan, perlu dipikirkan teknologi yang sesuai untuk membesarkan sidat muda (elver) karena potensi rekrut yang besar. Estimasi perhitungan produksi sidat dapat mencapai 1000 ton/tahun bila berhasil dibesarkan sebanyak 20% dari sidat muda yang masuk keperairan Poso, degan rata-rata berat per ekor 3 kg dengan masa pemeliharaan 3tahun. (Lukman dan Triyanto)



Coconut crab, The Great Giant Crab From East Indonesia


Kepiting kelapa atau juga disebut kepiting kenari (Birgus latro), merupakan salah satu sumberdaya hayati yang bernilai ekonomis penting karena memiliki potensi sebagai komoditi ekspor. Kepiting kelapa merupakan hewan yang berasal dari ekosistim pantai dan pada saat ini mengalami ancaman penurunan populasi sehingga kepiting ini dilindungi oleh pemerintah melalui surat keputusan menteri kehutanan dengan SK Menhut no 12/ KPTS–II/Um/1987.Biota ini telah mengalami ancaman kepunahan karena selain kecepatan pertumbuhan yang lambat, juga banyak diburu karena dagingnya yang lezat dan bernilai ekonomis penting untuk perdagangan maupun untuk komsumsi lokal. Menurut IUCN 1983, kepiting ini sudah dikategorikan “rare” atau jarang dan species yang terancam “endangered species” dalam “Red Data Book”.Kepiting kelapa (coconut crab) atau disebut juga kepiting kenari (robber crab), memiliki nama yang berbeda ditiap-tiap daerah. Kepiting kelapa menyukai buah-buahan seperti kelapa (Cocus nucifera), kenari (Cannariun commune), pepaya (Carica papaya), pisang (Musa spp), ketapang (Terminalia catappa), pandan (Pandanus spp), sukun (Artocarpus spp) dan sagu (Sago spp). Buah-buahan tersebut diperoleh dengan cara memanjat atau mencari buah yang telah jatuh bahkan kepiting kelapa seringkali terlihat menyeret buah yang jatuh kedalam lubang persembunyiannya.Di Indonesia kepiting kelapa tersebar dikawasan timur indonesia yaitu dipulau Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua. Kepiting ini merupakan salah satu aset perikanan yang bernilai ekonomis tinggi sehingga perlu untuk dilindungi agar tidak punah. Penurunan populasi kepiting dialam diperkirakan akibat adanya perubahan lingkungan (habitat, makanan, dan predator). Penurunan kondisi habitat tersebut disebabkan oleh aktivitas manusia (penebangan hutan, penghunian dan eksploitasi). Kepiting ini juga memiliki pertumbuhan yang sangat lambat sehingga dikhawatirkan populasinya dapat menurun secara drastis dialam jika eksploitasi berlangsung terus menerus.

Kepiting kelapa pertama kali ditemukan oleh Rumphius pada tahun 1705, tetapi sebenarnya telah diketahui oleh orang-orang Eropa sejak perjalanan eksplorasi Wiliam Dampier sekitar tahun 1688 dan telah menarik perhatian banyak ahli biologi yang mengunjungi pulau-pulau disamudera Hindia dan Pasifik. Dalam penelitian yang lebih mendalam pada tahun-tahun berikutnya terdapat kontribusi terhadap pengenalan akan kepiting ini dari siklus hidup, tingkah laku, reproduksi, fisiologi dan anatominya (Brown dan Fielder, 1991).Di Indonesia kepiting ini tersebar dikawasan timur Indonesia yaitu dipulau-pulau Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Di Sulawesi Utara kepiting kelapa terdapat di kepulauan Talaud, sedangkan diSulawesi Tenggara yakni di Pulau Siompu, Tongali, Kaimbulawa dan Liwutongkidi Di Nusa Tenggara terdapat dipantai berbatu pulau Yamdena, di Kalimantan terdapat dipulau Derawan dan diMaluku Utara terdapat dipulau Gebe, pulau Mor (Patani) dan pulau Paskoro (Sanana). Menurut (PPSDAHP 1987/1988), kepiting kelapa atau kepiting kenari adalah salah satu kelompok Decapoda yang banyak menghabiskan waktunya didaratan. Kepiting ini adalah yang paling besar dibandingkan dengan jenis-jenis crustacea lainnya sehingga dikenal sebagai Arthropoda daratan terbesar didunia. Hewan ini berperan dalam perputaran bahan organik tanah, lemak perutnya dapat berkhasiat sebagai aprodisiac (perangsang gairah seksual). Ada kemungkinan terdapat zat aktif lain yang belum diketahui yang dapat dijadikan sebagai bahan obat-obatan yang dapat berguna bagi kita semua. Melihat potensinya dan statusnya sebagai hewan yang telah dilindungi, maka upaya domestikasi dari kepiting tersebut perlu segera dilakukan.

Sektor Perikanan Menyelamatkan Indonesia dari Krisis


Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbesar di dunia. Sehingga laut dan sumberdaya alam yang ada seperti ikan dan biota lainnya merupakan sumber daya alam yang sangat besar. Pada saat krisis ekonomi tahun 1998an sektor perikanan ternyata menjadi tumpuan devisa bagi negara. Pemerintah mungkin telah menyadarinya sehingga lahirlah sebuah paradigma baru untuk mengoptimalkan sektor perikanan. Dari pembentukan Departemen Kelautan dan Perikanan sampai kepada pencanangan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan merupakan yang merupakan salah satu dari Kabinet Indonesia Bersatu dalam rangka pengurangan kemiskinan dan pengangguran, serta peningkatan daya saing ekonomi nasional (DKP, 2006)

Dari informasi secara general tersebut dalam kesempatan ini saya ingin menuangkan beberapa pemikiran yang saya ketahui untuk memberikan sumbangan terhadap kemajuan dan perkembangan perikanan di Indonesia. Selanjutnya saya akan berusaha menyampaikan informasi mengenai perikanan dan perkembangan usahanya yang dapat dilakukan oleh kalangan kecil dan menengah agar dapat memanfaatkan dan menginventasikan usahanya di sekotor ini.

Sebagai pemahaman sederhana saya kemukaan seperti ini: " Bila seorang petani yang memiliki lahan atau pedagang yang memiliki toko, saat mengalami kemunduran usaha sarana usahanya dijual dan beralih ke bidang lain (jadi karyawan atau pekerja lain) tapi bila perusahaannya tutup akibta krisis dia tidak bisa kembali menjadi petani atau pedagang akibat sarana usahanya telah di jual. Tapi bila seorang nelayan beralih usaha dan akan kembali menjadi nelayan, apa yang anda banyangkan dia bisa menjadi nelayan kembali karena masih ada laut yang luas yang kita miliki. Jales Veva Jaya Mahe..kalo enggak salah artinya di Laut Kita Jaya.....so kenapa kita tidak mengoptimalkan sumberdaya luat kita agar tetap lestari dan dapat terus dimanfaatkan untuk mensejahterakan rakyat dan bangsa. (trie)

All about Fish News